karyawan baru

“Kenapa anda menanyakan asal, dari….?”

“Anda bukanlah orang yang tepat untuk bertanya banyak hal tentang saya, sekilas kelihatan anda tak memiliki sesuatu yang dibanggakan seperti orang-orang saya kenal sebelumnya. Mendengar kata-katanya saja membuat saya perlu menyambut, entah itu salinan dari koran atau puisi teman kebetulan jatuh.
Saya tidaklah pusing memikirkannya.

Ke-kurangajar-an ini membuat tidak fokus pada tujuan anda berada disini!

Tugas anda hanya mencoba beradaptasi dengan lingkungan disini. Dengan pekerjaan disini. Tidak usah macam-macam. Kenapa tidak menanyakan sesuatu, atau bercerita yang berhubungan dengan pekerjaan, dengan nasib anda, seperti: bagaimana memudahkan jalan agar cepat mencapai jabatan tertentu, bagaimana usaha menyenangkan pimpinan, bagaimana menyesuaikan upah agar cukup pada akhir bulan? Tidak seperti sekarang ini yang terjadi pada diri saya, gali lubang tutup lubang. Utang di warung sudah tak terhitung saban hari. Kasbon di kantor belum lunas-lunas. Kebutuhan hidup sehari-hari makin tak terkendali. Belum lagi kos-kosan naik tiap tiga bulan sekali. Tanpa bisa menikmati gaya hidup. Hand phone ja-dul bisanya cuman pakai sms. Kalau ada telepon masuk, mati sendiri.
Bagaimana kalau kita mogok kerja saja, karena tekanan pekerjaan tak seimbang dengan hasil kita dapatkan tiap bulan. Atau para pemilik perusahaan ini di guna-gunai agar selalu nurut atas tuntutan karyawannya?
Hmm..jangan-jangan kita lebih dulu di guna-gunai.
Tapi sayapun tak perlu tahu menahu tentang siapa anda, karena sudah saya ketahui dari surat lamaran. Disamping itu saya sudah dengar dari orang-orang sekitar”.

“Maaf, maaf, maaf…anda sudah kurang ajar!!!”

Demikian, seorang karyawan baru mengeluh pada saya pada suatu sore setelah karyawan yang lain pulang. Duduk di depan saling berhadapan dibatasi oleh meja putih dengan monitor komputer besar. Serta satu asbak kita gunakan bersama.
Saya hanya bengong, sambil sesekali menghisap rokok yang sempat saya letakkan di asbak dekat monitor komputer. Pandangan semakin hampa. Dada terasa berat dan sesak.

Jika saja ada yang bertanya: “asal anda?” Tentu akan saya jawab dengan hati nurani tanpa pernah menanyakan lagi maksudnya mempertanyakan asal-usul. Toh juga kita bisa berbahasa yang sanggup untuk dipahami, juga udara yang kita hirup tak berbeda, sama-sama udara. Warna siang dan malam hampir tak ada bedanya. Terang dan gelap.
Lalu apa gunanya bersembunyi dari asal. Apa susahnya bila yang bertanya memang seperti orang konyol dan naif, tanpa memberi jawaban yang lazim seperti orang kebanyakan baru memulai perkenalan?

“Hanya bertanya ASAL, lalu kurang ajar…???”
…………………
Toh juga perkenalan itu tidak dipinggir jalan, atau tempat-tempat yang tidak memungkinkan untuk berkenalan. Bukan pula sengaja menghadang untuk bisa sekedar berkenalan?
Tentu saya tidak nyaman bila mempersulit diri agar orang yang baru saya kenal merasa hatinya tercabik-cabik oleh jawaban saya terlalu diplomatis bahkan seperti orang keracunan.

Jika saja ada yang bertanya: “Asal?”
Saya takkan menyodorkan buku-buku pengulas tek-tek-bengek tentang ASAL.
Saya akan jawab seingat diajari oleh ibu, dan takkan mengatakan rumah saya di bentuk berbagai campuran, asal usul bahan yang dipakai. Batu dari sungai amazon, pasir dari letusan Gunung Agung, semen dari Cilacap, kapur dari bukit Jimbaran. Genteng dari pejaten Tabanan.
Cukup hanya mengatakan nenek-kakek saya di sini lho….di situ lho…disana lho…

Mungkin bila belum puas juga, ini nomor handphone saya; 081..segitu..segitu..segitu…..atau bisa juga hubungi saya di nomor ; sekian..sekian..sekian…karena nomor ini saya gunakan khusus untuk kenakalan. Saya lebih senang jika membicarakan sesuatu yang pribadi via telepon, kita bisa bicara banyak hal. Atau bila memungkinkan tengah malam lebih tepat agar bebas pulsa. Bebas bicara. Bebas, sambil bercinta lewat telepon”.

Hingga saat ini mereka sudah tidak lagi bertegur sapa, hanya lewat-lewat saja. Sibuk dengan urusannya masing-masing. Seorang yang lebih dulu setahun itu merasa lebih menguasai keadaan. Sedangkan karyawan yang baru merasa kehilangan arah. Semakin tolol dan naif.

Saya bukan sedih atas pengaduan seorang karyawan baru itu, tapi saya merasa menyesal dengan mabuknya sehingga salah alamat.

“Kurir kok salah alamat…?”

Padahal hatinya sedang mengaguminya. Sedang benar-benar sebagai inspirasi untuk selalu semangat sebagai karyawan baru.


Denpasar, 6 Desember 2008

8 komentar:

  1. hmmm, mungkin karena interpretasi orang yang satu dengan orang yang lain tentang ASAL berbeda ta, bli?

    kalau aku kebingungan ditanya ASAL ya karena emang aku tak tahu lebih enak disebut ASAL dari mana aku ini..

    jadi pasti aku jawab: asalku indonesia
    :)

    BalasHapus
  2. untung aku tak ditakdirkan jadi karyawan, jadi aman aman saja*gubrak!*

    BalasHapus
  3. Hmm..asal saya campur aduk, kalo ditanyakan ttg keturunan yah berarti ambon-manado-banjar, kalo ditanya asal kota ya Jakarta, kalo ditanya asal negara, Indonesia, hihihi.. Lha kok malah saya ya yang memperkenalkan diri niy?

    (^_^) Eniwei ini menjadi renungan yg patut untuk dipikirkan..

    BalasHapus
  4. Wahhh.. ada lowongan tha.. .. lam kenal.. kapokl jadi karyawan....

    BalasHapus
  5. untung gw bukan karyawan hehehe

    BalasHapus
  6. kenapa harus menanyakan asal?
    apakah harus ada diskriminasi karena perbedaan asal usul?

    asalku indonesia. Negara kesatuan republik indonesia (NKRI).

    BalasHapus
  7. o iya, sepertinya ada yang ulang tahun hari ini. selamat ulang tahun ya... siapanya mas? anak ya?

    BalasHapus
  8. kadang itu hanya pertanyaan basa basi

    BalasHapus