POS

BAGAI pentas malam yang tak henti-hentinya, sayup-sayup dentang kentongan terdengar tiap menjelang malam. Memberikan nada-nada sarat makna dari sebuah pendalaman isyarat. Dan begitu pahamnya tentang nurani kita agar dibenak selalu terlintas betapa malam kadang sangat mencekam. Siang selalu mewaspadai datangnya senja. Hari-hari telah menjadi tumpukan ketakutan.

Sebegitu tidak amankah lingkungan yang terhuni? Sebegitu tidak amankah halaman, taman-taman, rumput-rumputan, kembang-kembang, hijau daun, kucing-kucing, atau burung-burung kecil yang hinggap sambil menyanyikan puisi-puisi, percakapan-percakapan dipanggung-panggung ranting, yang telah kubangun? Sehingga suara-suara kentongan menembus keheningan, menggugah kesuntukan, berubah menjadi ketegangan?

Ah, mungkin aku terlalu bertele-tele. Alam pikiran terlalu kusut. Ataukah ini gejala kepintaran!

Tetapi angin entah terpolusi atau tidak sering mengirimkan pengaduannya. Bahwa segala yang telah terawat, segala yang telah terjaga mengalami stress berat, ada pula yang terganggu jiwanya. Gila.

Memang gila, di dunia yang gila ternyata banyak orang-orang gila menggila gilai dengan maksud untuk kepentingan kegilaannya.
Siapa akan menyangka kalau kejahatan tumbuh di antara kerumunan orang-orang gila. Siapa nyangka maling ikut ronda atau maling teriak maling. Siapa sangka di tengah-tengah penjiwaan penataan kembang mengalir madu yang meracuni seisi taman?

Beberapa kali kulihat pos-pos keamanan lingkungan semua telah menjadi arena main kartu dan minum arak. Beberapa kali kuajukan proposal untuk perbaikan taman, tetapi telah dijadikan papan catur untuk menamatkan riwayat usaha pemurnian maksud. Seperti adanya pencurian maksud baik, digiring dan dimasukkan dalam kerangka sebagai alat untuk tujuannya.

Siapa yang berpikir agak rumit, segera akan diburu, dibuang jauh-jauh, ditelanjangi, dikuliti, dibakar, lalu dibunuh pikirannya. Kemudian difitnah pada pertemuan-pertemuan, ditulis pada tiap media, disebarkan, dan tiap orang lewat menginjak-injak baris hurup-hurup namanya yang tercantum.

Lantas pada siapa mengadu? Pada siapa…….
Apakah mesti mempertanyakannya pada bapak bupati:
“Adakah usaha-usaha pembentukan birokrasi penjegalan di sekitar ?
Berapa dana hari ini turun ?
Apakah disana juga ada jaringan-jaringan maling ?”

Oh, ini hanya penyakit globalisasi yang mengakibatkan PENEGERIANISASI.

Mungkin dalam hal itu aku tak mampu untuk bersekongkol walau dengan alasan apapun. Sebab aku lebih mementingkan ketentraman dalam diri agar mampu membangun kembali halaman, taman yang tandus dengan kejujuran murni, dengan kehampaan. Entah sekadar dihiasi kembang-kembang rumput, atau batu-batu gunung yang dianggap menentang arus.

Kalaupun akhirnya laksana penghambat, aku hanya merasa takan pernah mampu memilih dan memilah arus mana terbaik. Apakah arus akan menghantar ke laut atau arus yang akan menyesatkan perjalanan.

Dan akupun tak ingin menjadi daun-daun kering yang numpang hidup dari arus. Aku hanya ingin sebagai penata taman di halamanku sendiri dan membuat pos-pos kamling dalam jiwa.

6 komentar:

  1. Dan akupun tak ingin menjadi daun-daun kering yang numpang hidup dari arus. Aku hanya ingin sebagai penata taman di halamanku sendiri dan membuat pos-pos kamling dalam jiwa.

    mantep banget

    BalasHapus
  2. kadang emang kita mesti menjauh dari hiruk pikuk jalanan, masyarakat, atau apalah namanya, mas!

    BalasHapus
  3. ini cerita apa puisi sih :D kok mirip cerita pribadi tapi mendayu dayu

    BalasHapus
  4. yuhu tuh bener bangget... postingan yang bagus, saluttttttttt..
    terus berkreasi... good luck...

    BalasHapus
  5. aku pengen soewoeng terussss

    BalasHapus